Kejaksaan Agung (Kejagung) berhasil mengalahkan mantan Menteri Perdagangan, Tom Lembong atau Thomas Trikasih Lembong, dalam sidang praperadilan. Ditambah lagi, statusnya sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan impor gula juga telah resmi diakui.
"Selasa ini, Tom Lembong menjalani sidang praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, dimana Hakim tunggal Tumpanuli Marbun memutuskan untuk menolak semua permohonan yang diajukan oleh Tom Lembong," katanya.
Dengan nada tegas, hakim menyatakan, "Saya menolak permohonan praperadilan Pemohon."
"Hakim membenarkan bahwa penyidikan oleh Kejagung telah sesuai dengan prosedur yang ada," tambahnya, "dan juga, hakim telah menolak eksepsi yang diajukan oleh pihak Kejagung."
Hakim juga menguraikan alasan penolakannya terhadap praperadilan Tom Lembong. Ia menyebutkan bahwa dokumen-dokumen yang dibawa oleh Kejagung dalam sidang praperadilan telah menunjukkan bahwa penetapan status tersangka telah dilakukan setelah mengumpulkan bukti, termasuk keterangan dari 29 saksi dan tiga ahli, serta penyitaan barang bukti selama proses penyidikan.
Hakim Tumpanuli mengatakan, "Termohon telah sukses dalam mengumpulkan setidaknya dua alat bukti seperti keterangan saksi, bukti surat, keterangan ahli dan petunjuk. Meskipun begitu, sejauh mana kebenaran materiil dari alat bukti tersebut bukanlah tanggung jawab lembaga praperadilan. Berdasarkan pertimbangan tersebut, hakim praperadilan berpendapat bahwa termohon telah memenuhi bukti permulaan dan juga didukung oleh dua alat bukti yang sah," ujarnya.
Ujarnya, hakim tidak memiliki kewenangan untuk menilai kebenaran keterangan saksi serta alat bukti yang digunakan oleh penyidik. Hakim juga menambahkan bahwa penilaian mengenai kebenaran materiil alat bukti hanya bisa dilaksanakan oleh majelis hakim di dalam persidangan pokok perkara, bukan di tahap praperadilan.
"Hakim menegaskan bahwa Kejagung sudah memeriksa Tom Lembong sebagai saksi sebelum ditunjuk sebagai tersangka. Hakim juga menentang pendapat ahli dari pihak Tom Lembong yang berargumen bahwa penentuan tersangka korupsi harus berdasar pada hasil audit kerugian negara dari BPK," ujarnya.
"Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengatur perhitungan kerugian negara, hakim menyatakan bahwa kerugian negara yang menjadi dasar penetapan tersangka akan diperiksa. Besarannya dapat berubah berdasarkan bukti-bukti yang disajikan di persidangan," ujarnya. "Dalam menentukan kerugian negara, tidak diperlukan bukti formal awal berupa perhitungan kerugian negara yang final atau pasti oleh lembaga tertentu. Yang diperlukan hanyalah adanya kerugian negara yang nyata atau actual loss yang dapat dihitung, sebab perhitungan seperti ini tidak akan menjadi pasti sampai diuji oleh majelis hakim. Oleh karena itu, perhitungan oleh ahli hanya menjadi dasar pembuktian di sidang pengadilan sampai majelis hakim menentukan besarnya kerugian negara. Dalam beberapa kasus, perhitungan kerugian negara bisa berubah berdasarkan bukti-bukti di sidang pengadilan," tambah hakim.
Sesuai pernyataan hakim, penahanan Tom Lembong dilakukan sesuai aturan karena ia dijerat pasal yang ancaman hukumannya lebih dari lima tahun. Hakim juga menyerahkan tanggung jawab pemeriksaan terhadap posisi Menteri Perdagangan setelah Tom kepada Kejagung, sesuai kewenangan penyidik.
"Alasan tersebut, menurut hakim praperadilan, bukan bagian dari materi praperadilan dan penanganannya sepenuhnya berada di tangan Termohon sebagai penyidik," katanya.
"Hakim praperadilan tidak berwenang untuk menilai apakah permasalahan yang dihadapi pemohon merupakan upaya kriminalisasi atau politisasi," katanya.
Lanjutkan membaca pada halaman berikutnya untuk mendapatkan gambaran penuh tentang kasus yang sedang dihadapi oleh Tom Lembong.
"Di halaman 12 selanjutnya, Tom Lembong merujuk pada penerapan metode 'ground-up' dalam hukum," katanya.
Dalam dugaan kasus korupsi terkait impor gula pada tahun 2015-2016, Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejagung karena diduga telah menyalahi aturan yang ia setujui sendiri.
Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirdik Jampidsus), Abdul Qohar, menyampaikan dugaan keterlibatan Tom Lembong dan Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PT PPI), dalam perbuatan pidana yang disangkakan. Dalam ucapannya, ia menegaskan bahwa keduanya dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
"Menurut Kejagung, Tom Lembong saat itu menjabat Mendag telah memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk melakukan impor GKM, padahal aturan yang ada menyebutkan bahwa hanya BUMN yang diperbolehkan melakukan impor," tambahnya.
"Tom Lembong menandatangani Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula, yang kini menggantikan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004," katanya.
Kejagung melaporkan bahwa pada akhir Desember 2015, telah diselenggarakan rapat koordinasi ekonomi. Salah satu pembahasannya adalah prediksi kekurangan GKP di Indonesia tahun 2016 sebanyak dua ratus ribu ton dan perlunya impor untuk menjaga stabilitas harga serta memenuhi kebutuhan stok. Mengacu pada aturan yang berlaku, impor GKP seyogyanya dilaksanakan oleh BUMN, dalam hal ini PT PPI.
Kejagung menegaskan bahwa Tom Lembong diduga memberikan izin kepada perusahaan swasta untuk impor gula kristal murni tanpa rapat koordinasi antarkementerian. Gula kristal murni tersebut kemudian diolah menjadi gula kristal putih oleh perusahaan-perusahaan tersebut.
Menurut Abdul Qohar, "Tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong) telah mengetahui dan menyetujui persetujuan impor GKM yang ditandatangani oleh sembilan perusahaan swasta." Dia juga menambahkan, "Yang seharusnya diimpor secara langsung untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga adalah GKP, bukan GKM."
"Setelah perusahaan-perusahaan swasta melakukan impor dan pengolahan GKM menjadi GKP, PT PPI tampaknya telah membeli gula tersebut. Namun, faktanya gula tersebut dijual oleh perusahaan swasta ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, melampaui Harga Eceran Tertinggi yaitu Rp 13.000/kg, dan penjualan ini tidak dilakukan melalui operasi pasar," kata dia.
Abdul Qohar menyebut bahwa PT PPI telah mendapatkan fee sebesar Rp 105/kg dari perbuatan tersebut. "Selain itu, negara juga mengalami kerugian sebesar Rp 400 miliar yang dihitung dari keuntungan yang seharusnya diterima oleh negara atau BUMN dari perusahaan swasta, dalam hal ini PT PPI," tambahnya.
Dalam kasus dugaan korupsi impor gula yang terjadi pada tahun 2015-2016, Kejagung menunjuk Tom Lembong sebagai tersangka, yang menurut jaksa telah melanggar peraturan yang ia buat dan tanda tangani sendiri.
Tom Lembong dan Charles Sitorus, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, diduga telah melanggar hukum bersama-sama, demikian kata Abdul Qohar, Dirdik Jampidsus. Tambahnya, perbuatan tersebut dilakukan saat peristiwa pidana yang disangkakan terjadi dan mereka berdua dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Tipikor.
Tom Lembong, yang pada waktu itu menjabat sebagai Menteri Perdagangan, dikatakan oleh Kejagung telah memberikan izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) kepada perusahaan swasta, padahal secara hukum, hanya BUMN yang diperbolehkan melakukan impor.
"Tom Lembong menandatangani aturan yang dimaksud, yaitu Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/M-DAG/PER/12/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Aturan ini menggantikan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula," katanya.
Pada bulan Desember 2015, Kejagung merujuk pada rapat koordinasi bidang perekonomian yang membahas tentang kekurangan GKP sebanyak 200 ribu ton di Indonesia pada tahun 2016 dan kebutuhan impor untuk stabilisasi harga dan pemenuhan stok. Menurutnya, sesuai aturan, BUMN, dalam hal ini PT PPI, seharusnya yang bertanggung jawab untuk melakukan impor.
Tom Lembong dituduh oleh Kejagung telah memberikan izin kepada sejumlah perusahaan swasta untuk mengimpor gula kristal murni tanpa melalui proses rapat koordinasi antarkementerian. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian mengolah gula kristal murni tersebut menjadi gula kristal putih.
Menurut Abdul Qohar, tersangka TTL (Thomas Trikasih Lembong) telah memberikan persetujuan dan sepengetahuannya atas penandatanganan Persetujuan Impor GKM untuk sembilan perusahaan swasta. "Seharusnya, untuk pemenuhan stok dan stabilisasi harga, impor yang dilakukan adalah GKP secara langsung," tambahnya.
"Meskipun tampaknya PT PPI menjadi pembeli gula yang telah diimpor dan diproses oleh perusahaan swasta menjadi GKP, namun sebenarnya gula tersebut dijual ke konsumen melalui distributor dengan harga Rp 16.000/kg, melebihi Harga Eceran Tertinggi Rp 13.000/kg, dan penjualan ini tidak melalui operasi pasar," tambahnya.
Abdul Qohar mengindikasikan bahwa PT PPI telah menerima fee sebesar Rp 105/kg dalam suatu perbuatan. Dia menambahkan bahwa negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 400 miliar. Kerugian ini dihitung berdasarkan keuntungan yang seharusnya menjadi milik negara atau BUMN dari perusahaan-perusahaan swasta, dengan PT PPI sebagai contoh.