Terbit Rencana Perangin Angin, pejabat Sumatera Utara yang terlibat dalam korupsi dan perlakuan tidak manusiawi terhadap manusia hingga menewaskan mereka, sempat divonis bebas. Namun, vonis tersebut telah dianulir berdasarkan perkembangan terbaru.
Menghuni Provinsi Sumatera Utara, tepatnya di utara Medan, Terbit Rencana Perangin Angin menjabat sebagai Bupati Langkat. Dia terkenal karena kasus korupsinya dan perbuatannya yang mengurung manusia dalam jeruji buatannya, yang baru terungkap saat KPK melakukan penyelidikan.
Terdapat kerangkeng manusia di rumah pribadi milik Terbit Rencana Perangin Angin yang menjadi sorotan. Alasan dibalik keberadaan kerangkeng tersebut adalah untuk rehabilitasi narkoba, namun cara tersebut bertentangan dengan hukum. Kerangkeng manusia dan para penghuninya, atau 'anak kereng', sudah ada sejak tahun dua ribu sepuluh hingga dua ribu dua puluh dua.
Dengan jumlah mencapai 665 orang, anak kereng mengalami berbagai bentuk penindasan, seperti digunduli, dipenjara dalam sel, dianiaya, dicambuk, dan dilarang keluar dari sel. Tidak hanya itu, mereka juga dipaksa untuk bekerja di pabrik kelapa sawit.
"Menurut dakwaan jaksa, kereng/sel/kerangkeng yang telah beroperasi sejak tahun 2010 sampai dengan Januari 2022, telah menampung dan membinas sekitar 665 peserta, diantaranya adalah korban anak kereng yang telah meninggal yaitu Abdul Sidik Isnur alias Bedul, Sarianto Ginting, Isal Kardi alias Ucok Nasution, dan Dodi Santosa."
Ditangkap karena terlibat dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO), Terbit harus berurusan dengan hukum. Setelah menjalani persidangan, tuntutan hukuman yang dijatuhkan adalah 14 tahun penjara, denda Rp 500 juta dan restitusi sebesar Rp 2,3 miliar untuk para ahli waris korban. Namun, hakim Pengadilan Negeri Stabat di Langkat memberikan putusan bebas untuk Terbit.
Namun berbalik arah, jaksa memutuskan untuk mengajukan kasasi atas putusan bebas tersebut. Mahkamah Agung (MA) pun mengiyakan kasasi yang diajukan oleh jaksa, sehingga Terbit tidak dapat merasakan kebebasan. Tetapi, sangat disayangkan karena tidak ada ganti rugi yang diterima oleh korban kerangkeng manusia.
"Pada halaman berikutnya, akan dibahas soal putusan kasasi dan absennya ganti rugi bagi korban kerangkeng Terbit Rencna Perangin Angin," katanya.
"Dalam halaman selanjutnya, kita akan melihat rencana untuk perangin angin yang merupakan bagian dari pokerangkeng kami untuk meningkatkan kehidupan manusia," kata Bupati Langkat, dengan persetujuan dari Mahkamah Agung.
Terbit Rencana Perangin Angin, mantan Bupati Langkat yang terlibat dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang, kini harus menjalani hukuman penjara selama empat tahun setelah Mahkamah Agung menganulir vonis bebasnya.
"Permohonan kasasi Penuntut Umum diterima oleh MA," demikian isi putusan yang dipublikasikan di situs resmi MA pada hari Selasa.
Terbit telah terbukti bersalah atas pelanggaran Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, demikian pernyataan resmi dari Mahkamah Agung. Selain itu, Terbit juga dihukum untuk membayar denda sejumlah Rp 200 juta.
"MA telah memberikan keputusan, pidana penjara selama 4 tahun, denda sebesar 200 juta dan subsider kurungan 2 bulan," begitu katanya.
Putusan yang dibacakan pada tanggal lima belas November lalu, diketok oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Agung Prim Haryadi bersama anggota Yanto dan Jupriyadi.
Hukuman yang diterima Terbit berupa 4 tahun penjara, sebenarnya lebih singkat jika dibandingkan dengan tuntutan jaksa yang mencapai 14 tahun penjara.
Meski jaksa menuntut agar Terbit membayar ganti rugi sebesar RP 2,3 miliar kepada korban atau ahli warisnya, hakim kasasi menjatuhkan putusan bahwa tidak ada restitusi atau ganti rugi yang akan diberikan untuk korban kerangkeng manusia oleh pihak Terbit.
Jaksa berpendapat bahwa jika Terbit tidak mampu membayar restitusi dalam waktu maksimal dua belas hari setelah putusan pengadilan berlaku secara hukum, maka kekayaannya dapat dirampas dan dilelang oleh Jaksa untuk pembayaran restitusi tersebut. Apabila Terbit tidak memiliki harta yang cukup untuk membayar restitusi, maka dapat diganti dengan pidana kurungan selama satu tahun.
Tetapi, di akhir proses, hakim kasasi tidak memberikan restitusi dan ini mengakibatkan korban tidak mendapatkan kompensasi.
Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan untuk menganulir putusan bebas Terbit Rencana Perangin Angin, mantan Bupati Langkat, dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan sebagai gantinya menjatuhkan hukuman penjara empat tahun.
Seperti yang diterbitkan di situs resmi MA pada hari Selasa, permohonan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum telah mendapatkan lampu hijau dari MA.
MA mengumumkan bahwa Terbit secara resmi terbukti melanggar Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, hakim juga menuntut Terbit untuk membayar denda sejumlah dua ratus juta rupiah.
"MA menjatuhkan hukuman empat tahun penjara dan denda dua ratus juta rupiah, dan jika denda tersebut tidak dibayar maka akan diganti dengan kurungan selama dua bulan," demikian putusan tersebut.
Putusan majelis hakim, yang diketuai oleh Hakim Agung Prim Haryadi dan anggota Yanto dan Jupriyadi, telah dibacakan pada tanggal 15 November lalu.
Terbit akhirnya hanya mendapatkan hukuman 4 tahun penjara, jauh lebih singkat dari tuntutan jaksa yang mencapai 14 tahun.
Menurut keputusan hakim kasasi, korban kerangkeng manusia yang berharap mendapatkan restitusi atau ganti rugi dari Terbit harus kecewa, karena tidak ada amanat hukum yang memerintahkan hal tersebut. Sementara itu, jaksa berusaha memaksa Terbit untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 2,3 miliar kepada para korban atau ahli warisnya.
Jaksa berkeinginan jika Terbit tidak mampu membayar restitusi maksimal 14 hari pasca putusan pengadilan menguat, maka harta bendanya dapat disita dan dilelang oleh Jaksa untuk membayar restitusi. Namun, jika harta Terbit tidak cukup, maka ia harus menjalani pidana kurungan selama satu tahun.
Ganti rugi yang seharusnya diterima korban tidak 'cair', karena hakim kasasi tidak berhasil mengamanatkan restitusi tersebut.