TrandingEvery success is helped by someone behind the people
  • imgDhaka 360
  • imgThursday - December 05, 2024

"Keputusan Bebas Eks Bupati Langkat Dibatalkan, Namun Ganti Rugi Masih Tertunda"

12 Jun 22
5 mins Read
img

Terbit Rencana Perangin Angin, seorang pejabat di Sumatera Utara yang terkenal karena terlibat dalam kasus korupsi dan tindakan tidak manusiawi terhadap manusia hingga menewaskan mereka, sempat mendapatkan vonis bebas. Namun, berita terbaru mengungkapkan bahwa vonis tersebut telah dianulir.

Terbit Rencana Perangin Angin, yang menjabat sebagai Bupati Langkat - sebuah daerah yang berada di Provinsi Sumatera Utara dan berlokasi di utara Medan, dikenal karena perbuatannya yang merenggut kebebasan manusia dengan mengurung mereka dalam jeruji buatannya. Kasus korupsinya mulai terungkap saat KPK melakukan penyelidikan.

Menurut informasi yang didapatkan, kerangkeng manusia tersebut terletak di rumah pribadi milik Terbit Rencana Perangin Angin. Meski memiliki alasan rehabilitasi narkoba, namun tindakan tersebut dinilai ilegal. Menariknya, kerangkeng manusia dan para penghuninya atau yang biasa disebut 'anak kereng', sudah ada sejak sepuluh tahun yang lalu hingga saat ini.

Sebanyak 665 individu anak kereng dihadapkan pada situasi yang mencengangkan dimana mereka dipaksa untuk digunduli, ditahan di dalam sel, mengalami berbagai bentuk kekerasan termasuk dicambuk, serta dilarang keluar dari sel. Mereka juga dipaksa untuk bekerja keras di pabrik kelapa sawit.

"Dalam rentang waktu sejak berdirinya kereng/sel/kerangkeng pada tahun 2010 hingga Januari 2022, telah terdapat 665 peserta pembinaan yang ditampung, termasuk beberapa yang telah meninggal dunia seperti Abdul Sidik Isnur alias Bedul, Sarianto Ginting, Isal Kardi alias Ucok Nasution, dan Dodi Santosa," ungkap jaksa dalam dakwaannya.

Terbit dikenakan pasal Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) karena perbuatannya. Dia harus menghadapi proses hukum dan setelah melalui serangkaian persidangan, jaksa menuntutnya 14 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, serta restitusi sebesar Rp 2,3 miliar kepada para ahli waris korban. Meski demikian, hakim Pengadilan Negeri Stabat di Langkat memutuskan untuk membebaskan Terbit.

Pada perkembangan selanjutnya, jaksa mengambil langkah hukum dengan mengajukan kasasi terhadap putusan bebas tersebut. Mahkamah Agung (MA) pun memutuskan untuk mengabulkan kasasi yang diajukan oleh jaksa, sehingga Terbit tidak bisa menikmati kebebasannya. Namun, yang disayangkan adalah tidak ada bentuk kompensasi atau ganti rugi yang diberikan kepada korban kasus kerangkeng manusia.

"Mari kita lanjutkan ke halaman berikutnya yang membahas tentang putusan kasasi dan kenyataan bahwa tidak ada kompensasi untuk korban kerangkeng Terbit Rencna Perangin Angin," katanya.

Rencana perangin angin di halaman 12 telah diterbitkan berdasarkan keputusan Bupati Langkat yang mendapatkan persetujuan dari Mahkamah Agung, sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan manusia, katanya.

Dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang, Mahkamah Agung telah menganulir vonis bebas yang sebelumnya diberikan kepada mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin dan menggantinya dengan vonis penjara selama empat tahun.

"Permohonan kasasi yang diajukan oleh Penuntut Umum telah dikabulkan," demikian bunyi putusan MA yang dapat dilihat pada situs resmi MA pada hari Selasa.

Hakim di Mahkamah Agung telah menegaskan bahwa Terbit telah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 11 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan juga menjatuhkan hukuman denda sebesar Rp 200 juta kepada Terbit.

"Putusan dari MA, penjara selama 4 tahun dan denda 200 juta dengan subsider kurungan dua bulan," demikian katanya.

Hakim Agung Prim Haryadi, yang diketuai majelis hakim bersama anggota Yanto dan Jupriyadi, telah mengketok putusan tersebut dan dibacakan pada 15 November yang lalu.

Meski Terbit mendapat hukuman 4 tahun penjara, namun sebenarnya jaksa telah menuntut hukuman yang jauh lebih panjang, yaitu 14 tahun penjara.

Hakim kasasi telah menentukan bahwa tidak ada restitusi atau kompensasi yang akan diberikan kepada korban pembunuhan oleh pihak Terbit, meskipun jaksa penuntut umum telah merekomendasikan agar Terbit membayar ganti rugi sebesar RP 2,3 miliar kepada korban atau ahli warisnya.

Jaksa berkeinginan bahwa apabila Terbit gagal membayar restitusi yang ditentukan dalam waktu maksimal dua belas hari setelah putusan pengadilan menjadi final dan mengikat, maka asetnya dapat disita dan dilelang oleh Jaksa sebagai upaya pembayaran restitusi tersebut. Jika Terbit tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar restitusi tersebut, maka gantinya adalah hukuman kurungan selama satu tahun.

Meski demikian, hakim kasasi memutuskan untuk tidak mengesahkan restitusi tersebut, sehingga kompensasi untuk korban tidak berhasil diberikan.

Dalam kasus dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO), Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan putusan bebas yang sebelumnya diberikan kepada mantan Bupati Langkat, Terbit Rencana Perangin Angin dan malah memberikannya hukuman penjara selama empat tahun.

"Permohonan kasasi dari Penuntut Umum telah dikabulkan," begitu bunyi putusan yang diumumkan oleh MA seperti yang tertera dalam situs resmi mereka pada hari Selasa.

Menurut pernyataan MA, Terbit telah secara sah terbukti melanggar Pasal 2 ayat (2) juncto Pasal 11 UU Nomor 21 Tahun 2007 yang mengatur tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Selain itu, hakim juga menjatuhkan hukuman denda sebesar dua ratus juta rupiah kepada Terbit.

"Putusan MA menetapkan pidana penjara selama empat tahun, denda sejumlah dua ratus juta rupiah, dan subsider kurungan selama dua bulan," demikian petikan dari keputusan tersebut.

Hakim Agung Prim Haryadi yang diketuai oleh majelis hakim telah mengambil keputusan pada tanggal 15 November lalu, dengan anggota lainnya adalah Yanto dan Jupriyadi.

Terbit hanya dihukum 4 tahun penjara, padahal jaksa telah mengajukan tuntutan hukuman selama 14 tahun.

Hakim kasasi menegaskan bahwa tidak ada restitusi atau ganti rugi yang bisa diterima oleh korban kerangkeng manusia dari pihak Terbit. Ini bertentangan dengan harapan jaksa yang menginginkan Terbit diwajibkan membayar ganti rugi sebesar Rp 2,3 miliar kepada korban atau ahli waris mereka.

Jaksa berharap bahwa jika Terbit tidak bisa melunasi restitusi dalam waktu 14 hari setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap, maka kekayaannya bisa disita oleh Jaksa dan dijual untuk membayar restitusi tersebut. Jika Terbit tidak memiliki aset yang cukup untuk membayar restitusi, maka ia akan diganti dengan hukuman penjara selama satu tahun.

Sayangnya, restitusi yang seharusnya diberikan kepada korban tidak dapat diamankan oleh hakim kasasi, sehingga ganti rugi belum dapat 'cair' sebagaimana mestinya.

Editor Choices