Helena Lim, yang menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah, mengungkapkan niatnya sebelumnya untuk membuka toko barang bermerek. Sayangnya, niat tersebut tidak dapat direalisasikan karena ia terlibat dalam kasus korupsi timah.
Dalam persidangan sebagai saksi, Helena Lim mengungkapkan informasi tersebut saat ditanya oleh hakim tentang bisnis lain yang ia miliki selain money changer PT Quantum Skyline Exchange, terkait kasus yang menjerat Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, mantan Direktur Utama PT Timah Tbk periode 2016-2021.
"Saudara memiliki bisnis lain selain ini?" ucap Rianto Adam Pontoh, ketua majelis hakim saat berada di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis yang lalu.
"Ada, Yang Mulia," kata Helena sebagai jawabannya.
Helena secara terbuka mengakui memiliki perusahaan bernama PT Harmoni Langgeng Nusantara (PT HLN) yang fokus pada bisnis jual beli barang branded, katanya.
"Yang Mulia, itu adalah di sektor penjualan barang-barang bermerk," ujar Helena dengan informatif.
"Dapatkah Anda jelaskan lebih detail, seperti apa saja?" tanya hakim dengan wajah yang serius.
"Tas dan jam tangan," kata Helena sebagai jawabannya.
"Merk apa yang Anda maksud?" tanya hakim dengan nada penasaran.
"Banyak merek-merek ternama seperti Hermes, LV, dan Channel ada dalam koleksinya, Yang Mulia," kata Helena dengan suara yang penuh hormat.
Helena mengungkapkan bahwa dia menjual barang-barang branded melalui platform online. Dia menambahkan bahwa dia memiliki niat untuk memulai bisnis toko fisik, namun rencana tersebut terhenti akibat terlibat dalam kasus korupsi timah.
"Apakah benar Saudara memiliki toko milik pribadi?" tanya hakim dengan penasaran.
"Yang Mulia, kemarin saya berencana untuk membuka toka namun terhalang oleh kasus ini," ujar Helena dengan wajah serius.
"Saya tertarik menjadi broker di bidang properti," ujar Helena, namun dia mengaku tidak memiliki pengetahuan tentang usaha pertambangan.
"Adakah yang berkaitan dengan pertambangan?" tanya hakim dengan nada penasaran.
"Saya tidak pernah, Yang Mulia, saya benar-benar tidak pernah," ujar Helena dengan jujur dan tegas.
"Apakah Anda memiliki pengetahuan mengenai pertambangan?" tanya hakim dengan penasaran.
"Saya tidak pernah mengetahui tentang tambang," jawab Helena dengan suara lembut.
Helena Lim, yang sebelumnya didakwa terlibat dalam kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara hingga Rp 300 triliun, dituduh oleh jaksa menggunakan sarana money changer miliknya untuk menampung uang korupsi yang diperoleh pengusaha Harvey Moeis.
Menurut jaksa, Helena, sebagai pemilik PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE), telah menampung dana 'pengamanan' dari Harvey Moeis yang berkaitan dengan proyek kerjasama smelter swasta dan PT Timah Tbk. Jaksa menjelaskan bahwa dana tersebut, yang sebenarnya merupakan dana CSR senilai puluhan juta dolar AS, disimpan oleh Helena melalui PT QSE dan diperlakukan sebagai penukaran mata uang asing.
Menurut jaksa, Helena berhasil mengumpulkan keuntungan hingga Rp 900 juta melalui penukaran valuta asing yang ia lakukan di PT QSE. Selanjutnya, jaksa menjelaskan bahwa Helena telah mentransfer uang tersebut kepada Harvey dalam beberapa kali transaksi antara tahun 2018 hingga 2023.
"Berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah Di Wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024, ditemukan bahwa kerugian negara mencapai angka Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya jumlah tersebut," ujarnya.
Dalam dakwaan yang disampaikan oleh jaksa, Helena dilaporkan melakukan tindak pidana pencucian uang atau TPPU dengan merahasiakan transaksi uang pengamanan seakan-akan sebagai dana CSR dari Harvey Moeis.
Helena Lim dituduh melanggar Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang berhubungan dengan Pasal 18 dari UU Tipikor, serta Pasal 56 ayat (1) ke-1 KUHP. Dia juga dituduh melanggar Pasal 3 dan Pasal 4 dari UU No 8 Tahun 2010 yang berkaitan dengan Pencegahan dan Pemberantasan TPPU, yang juga terkait dengan Pasal 56 ke-1 KUHP.